Take a photo of a barcode or cover
I thought this was fairy tale retellings but it was some kind of philosophical book of parables on motherhood
An uneven collection of short stories that explore the trials and tribulations of motherhood. What I particularly liked about this one is how Wood does not shy away from the problems that come with parenting (both in the modern world and back in the idealised past). Well worth a look, but probably not if you're pregnant with you first!
I will return to this book at a later date but it's in the unfortunate position of sitting on the shelf out back in the bookshop where the reading copies and uncorrected proofs go and there are other books there that are beckoning to me more strongly. So in the interests of making my 'currently reading' shelf tidier, I'm marking this now as 'didn't finish'.
Still, I like this author's writing - she draws clear pictures about real people (real as in realistic, that is) and with a wry humour. And being a collection of long short stories (4 in this volume + a prologue) it's easy to read in portions. The first, Lettuce, is about a woman who is totally bound up in doing things the right way, and, in fact, in there being right ways to do things. A 'free spirit' joins the class for expectant mothers that Meg's attending, and this causes Meg to think about things in a way she hasn't had to in the past. It's a sadly funny story.
Still, I like this author's writing - she draws clear pictures about real people (real as in realistic, that is) and with a wry humour. And being a collection of long short stories (4 in this volume + a prologue) it's easy to read in portions. The first, Lettuce, is about a woman who is totally bound up in doing things the right way, and, in fact, in there being right ways to do things. A 'free spirit' joins the class for expectant mothers that Meg's attending, and this causes Meg to think about things in a way she hasn't had to in the past. It's a sadly funny story.
What an incredible throught provoking and heartfelt journey. Mothers Grimm is a selection of 4 short stories that are about mothers loosely based on the Grimm fairytales.
An incredible eye opening book that will challenge any woman, particularly mother who reads it. It is like nothing I have ever read before, it makes the reader keenly aware of the pressure that women and mothers feel on a daily basis. The characters were all relateable and their plights will be felt leaving the reader pondering for quite some time after finishing.
I would recommend this book to any mothers, it was an eyeopening journey that makes one aware of the daily struggles a mother faces
An incredible eye opening book that will challenge any woman, particularly mother who reads it. It is like nothing I have ever read before, it makes the reader keenly aware of the pressure that women and mothers feel on a daily basis. The characters were all relateable and their plights will be felt leaving the reader pondering for quite some time after finishing.
I would recommend this book to any mothers, it was an eyeopening journey that makes one aware of the daily struggles a mother faces
While having a very intriguing concept as evidenced from its title, this collection is less of like [a:Angela Carter|27500|Angela Carter|https://images.gr-assets.com/authors/1397683766p2/27500.jpg];s [b:The Bloody Chamber and Other Stories|49011|The Bloody Chamber and Other Stories|Angela Carter|https://i.gr-assets.com/images/S/compressed.photo.goodreads.com/books/1388633104l/49011._SY75_.jpg|47950], and are simply realism short stories bursting the fairy-tale sacredness of motherhood ala [b:We Need to Talk About Kevin|80660|We Need to Talk About Kevin|Lionel Shriver|https://i.gr-assets.com/images/S/compressed.photo.goodreads.com/books/1327865017l/80660._SY75_.jpg|3106720], with its allegorical fable elements is deployed in a threadbare flimsy manner at best. A let-down to say the least.
dark
emotional
reflective
sad
tense
medium-paced
Plot or Character Driven:
A mix
Strong character development:
Yes
Loveable characters:
Yes
Diverse cast of characters:
No
Flaws of characters a main focus:
Yes
Look, it wasn't that this book wasn't well written. It was. But it is absolutely NOT what the cover and blurb and tagline try to make it out to be. This is grim, realistic fiction - go into it expecting that, and you'll probably enjoy the reading experience much more than I did.
medium-paced
*As seen on my blog*
Mother’s Grimm karya Danielle Wood adalah sebuah buku yang memuat empat kisah retellings -some Mother characters from Brother’s Grimm Fairytale. Kisah-kisah yang berbeda, namun memiliki tone dan ending senada. Yang pertama berjudul Lettuce. Tentang Meg, seorang wanita yang secara fisik, bertubuh tinggi dan biasa. Meg tipikal observator. She thinks about things around her but she’s a quiet person. Ketika hamil anak pertamanya, ia ikut kelas yoga untuk ibu-ibu hamil. Di sana, ia bertemu seorang wanita bertubuh sempurna. Melekat padanya perhiasan dan pakaian berkelas. Bahkan dalam kondisi hamil besar, wanita itu terlihat cantik. Yang juga tak luput dari penglihatan Meg adalah bahwa wanita itu, meski hamil, tak mengenakan cincin kawin. Meg memanggilnya Treasure.
Sejak itu, pupil Meg selalu awas saat ada Treasure dan terhadap segala hal tentangnya.
Lalu mengapa judulnya Lettuce?
Di hari persalinan anak pertamanya (yang ia beri nama Jackson Alexander Campbell), di klinik tempat ia melahirkan, ada seorang bayi perempuan cantik yang ditinggal ibunya begitu saja. Melihat bayi itu, ia memberi saran nama Lettuce. Terdengar silly, tapi jika apa yang dipikirkannya benar hingga ia mencetuskan nama Lettuce itu, maka tak salah lagi bahwa bayi itu adalah bayi milik Treasure. Mengapa sampai bayi cantik itu ditinggalkan?
Next.
Kisah kedua berjudul Cottage. Berkisah tentang seorang ibu, Nina, yang mesti meninggalkan impiannya untuk menjadi ibu rumah tangga; merawat anak-anaknya dengan perhatian penuh. Apalagi anak pertamanya, Henry, adalah bayi yang butuh perhatian khusus; tubuhnya kurus, susah makan, dan emosinya sering tak stabil. Bukan keinginan Nina untuk menjadi working mom, tapi keadaan finansial keluarga kecilnya. Lucas, sang suami, memiliki hutang besar yang meski dengan tambahan Nina bekerja pun, baru bisa dilunasi dengan angsuran bertahun-tahun. And so it goes, childcare is the solution.
Childcare tempat ia menitipkan Henry dan Gracie (putri kedua Nina) bernama Cottage. Hari-hari pertama Henry dan Gracie ditinggal di Cottage selama Nina bekerja, terasa begitu sulit. Henry menjerit-jerit, menangis hingga muntah, tak pernah benar-benar rela ditinggal ibunya. Nina pun, tak sanggup melihat Henry bereaksi seperti itu hingga ia jadi tak fokus dengan pekerjaannya.
Tapi hari-hari berlalu menjadi minggu, lalu menjadi bulan, dan Henry terbiasa dengan ritual perpisahannya dengan Nina sebelum ia berangkat bekerja. Sayangnya, Henry juga jadi lebih lengket pada salah satu perawat yang bekerja di Cottage yang bernama Beverly. To the point that Henry compares Nina to Beverly, even choosing Beverly over her. Henry masih dengan emosinya yang tak stabil. Paranoia Henry bahwa Nina sudi untuk sewaktu-waktu pergi meninggalkannya dan tak kembali juga masih ada. Dan satu momen tantrum Henry mentrigger emosi terpendam Nina (sedih, takut, cinta, khawatir dan marah) hingga Nina menjadi sesosok Ibu yang tak ia kenali lagi.
Hmm… Masih ada dua kisah bernuansa Grimm dalam buku ini. Baiknya mungkin saya stop sampai di dua kisah pertama ya?
Okelah, sedikit aja deh tentang dua kisah berikutnya.
Kisah ketiga, berjudul Sleep. Sedikit banyak tentang seorang wanita muda, yang hamil dan memiliki anak di luar rencananya dan selanjutnya kisahnya ditambahi sentuhan baby blues. Saya kesulitan menceritakannya kembali dalam kalimat-kalimat singkat, tapi yang jelas, buat saya kisah ketiga ini yang paling ‘Grimm’. Gimana, jadi penasaran kenapa saya bilang paling Grimm?
Last story, berjudul Nag. Saya paling ngga gitu mudeng dengan cerita yang terakhir ini. Lebih tepatnya ngga tahu apa yang membuat narator dikategorikan ‘Grimm’ (Oh My, Grimm udah bukan sekedar nama tapi udah kaya kata sifat!) kecuali bahwa ia membunuh seekor kuda yang menurutnya berbisik kepadanya –yup, sedikit fantasy untuk kisah terakhir ini. Narasinya maju mundur, tentang si narator yang bernama Avery mengenang kembali hari terakhir sebelum ia memisahkan diri dari ibunya. Avery mengingat perhatian sekaligus kesedihan ibunya saat melepaskan dirinya. It happens that the life (and the man) she has chosen might not the one her mother’s wanted. Sometimes she regret that (maybe most of the times). But she walked on. And now that her children are grown up, it comes to her, the feeling her mother’s once have about her and her life. If only she did better.
Eeeh, what a long post (and yet I still have couple things to say)!
Membaca buku ini, membuka mata saya akan beratnya menjadi seorang ibu dan bahwa menjadi ibu yang baik itu susah. Padahal menjadi ibu yang baik adalah dambaan semua ibu muda. Karena dalam prosesnya, kehidupan wanita yang menjadi ibu ditempa dengan hal-hal rutinitas dan aktivitas yang menguras tenaga, pikiran, dan emosi. Yang tiapnya, saat mencapai titik terlemah pertahanan seorang wanita, malah berpotensi mendestruksi dirinya sendiri (bahkan anak-anak mereka).
Ngga semua perempuan itu tough, tapi semuanya memiliki bibit fragile. And so, what will you become?
Mother’s Grimm karya Danielle Wood adalah sebuah buku yang memuat empat kisah retellings -some Mother characters from Brother’s Grimm Fairytale. Kisah-kisah yang berbeda, namun memiliki tone dan ending senada. Yang pertama berjudul Lettuce. Tentang Meg, seorang wanita yang secara fisik, bertubuh tinggi dan biasa. Meg tipikal observator. She thinks about things around her but she’s a quiet person. Ketika hamil anak pertamanya, ia ikut kelas yoga untuk ibu-ibu hamil. Di sana, ia bertemu seorang wanita bertubuh sempurna. Melekat padanya perhiasan dan pakaian berkelas. Bahkan dalam kondisi hamil besar, wanita itu terlihat cantik. Yang juga tak luput dari penglihatan Meg adalah bahwa wanita itu, meski hamil, tak mengenakan cincin kawin. Meg memanggilnya Treasure.
Sejak itu, pupil Meg selalu awas saat ada Treasure dan terhadap segala hal tentangnya.
Lalu mengapa judulnya Lettuce?
Di hari persalinan anak pertamanya (yang ia beri nama Jackson Alexander Campbell), di klinik tempat ia melahirkan, ada seorang bayi perempuan cantik yang ditinggal ibunya begitu saja. Melihat bayi itu, ia memberi saran nama Lettuce. Terdengar silly, tapi jika apa yang dipikirkannya benar hingga ia mencetuskan nama Lettuce itu, maka tak salah lagi bahwa bayi itu adalah bayi milik Treasure. Mengapa sampai bayi cantik itu ditinggalkan?
Next.
Kisah kedua berjudul Cottage. Berkisah tentang seorang ibu, Nina, yang mesti meninggalkan impiannya untuk menjadi ibu rumah tangga; merawat anak-anaknya dengan perhatian penuh. Apalagi anak pertamanya, Henry, adalah bayi yang butuh perhatian khusus; tubuhnya kurus, susah makan, dan emosinya sering tak stabil. Bukan keinginan Nina untuk menjadi working mom, tapi keadaan finansial keluarga kecilnya. Lucas, sang suami, memiliki hutang besar yang meski dengan tambahan Nina bekerja pun, baru bisa dilunasi dengan angsuran bertahun-tahun. And so it goes, childcare is the solution.
Childcare tempat ia menitipkan Henry dan Gracie (putri kedua Nina) bernama Cottage. Hari-hari pertama Henry dan Gracie ditinggal di Cottage selama Nina bekerja, terasa begitu sulit. Henry menjerit-jerit, menangis hingga muntah, tak pernah benar-benar rela ditinggal ibunya. Nina pun, tak sanggup melihat Henry bereaksi seperti itu hingga ia jadi tak fokus dengan pekerjaannya.
Tapi hari-hari berlalu menjadi minggu, lalu menjadi bulan, dan Henry terbiasa dengan ritual perpisahannya dengan Nina sebelum ia berangkat bekerja. Sayangnya, Henry juga jadi lebih lengket pada salah satu perawat yang bekerja di Cottage yang bernama Beverly. To the point that Henry compares Nina to Beverly, even choosing Beverly over her. Henry masih dengan emosinya yang tak stabil. Paranoia Henry bahwa Nina sudi untuk sewaktu-waktu pergi meninggalkannya dan tak kembali juga masih ada. Dan satu momen tantrum Henry mentrigger emosi terpendam Nina (sedih, takut, cinta, khawatir dan marah) hingga Nina menjadi sesosok Ibu yang tak ia kenali lagi.
Hmm… Masih ada dua kisah bernuansa Grimm dalam buku ini. Baiknya mungkin saya stop sampai di dua kisah pertama ya?
Okelah, sedikit aja deh tentang dua kisah berikutnya.
Kisah ketiga, berjudul Sleep. Sedikit banyak tentang seorang wanita muda, yang hamil dan memiliki anak di luar rencananya dan selanjutnya kisahnya ditambahi sentuhan baby blues. Saya kesulitan menceritakannya kembali dalam kalimat-kalimat singkat, tapi yang jelas, buat saya kisah ketiga ini yang paling ‘Grimm’. Gimana, jadi penasaran kenapa saya bilang paling Grimm?
Last story, berjudul Nag. Saya paling ngga gitu mudeng dengan cerita yang terakhir ini. Lebih tepatnya ngga tahu apa yang membuat narator dikategorikan ‘Grimm’ (Oh My, Grimm udah bukan sekedar nama tapi udah kaya kata sifat!) kecuali bahwa ia membunuh seekor kuda yang menurutnya berbisik kepadanya –yup, sedikit fantasy untuk kisah terakhir ini. Narasinya maju mundur, tentang si narator yang bernama Avery mengenang kembali hari terakhir sebelum ia memisahkan diri dari ibunya. Avery mengingat perhatian sekaligus kesedihan ibunya saat melepaskan dirinya. It happens that the life (and the man) she has chosen might not the one her mother’s wanted. Sometimes she regret that (maybe most of the times). But she walked on. And now that her children are grown up, it comes to her, the feeling her mother’s once have about her and her life. If only she did better.
Eeeh, what a long post (and yet I still have couple things to say)!
That evening, Meg’s mother came to the hospital to meet her grandson.
‘Did you . . . ?’ Meg began.
Meg was tired and weepy by now and uncertain she could continue, and yet there was something she had to know. ‘Mum, did you feel this? Did you . . . love me this much?’
Meg looked closely at her mother, and at the unkindnesses done to her face by the years of trying to hold it all perfectly together. The scoldings, the crossness, the indignation: they all showed. But, even so, they were not up to the task of hiding her wistfulness.
‘Hold on to that feeling, Meggie,’ her mother said. ‘Because it has to last you for a very, very long time.’
Membaca buku ini, membuka mata saya akan beratnya menjadi seorang ibu dan bahwa menjadi ibu yang baik itu susah. Padahal menjadi ibu yang baik adalah dambaan semua ibu muda. Karena dalam prosesnya, kehidupan wanita yang menjadi ibu ditempa dengan hal-hal rutinitas dan aktivitas yang menguras tenaga, pikiran, dan emosi. Yang tiapnya, saat mencapai titik terlemah pertahanan seorang wanita, malah berpotensi mendestruksi dirinya sendiri (bahkan anak-anak mereka).
Ngga semua perempuan itu tough, tapi semuanya memiliki bibit fragile. And so, what will you become?
challenging
dark
emotional
reflective
sad
slow-paced
Plot or Character Driven:
A mix
Strong character development:
Yes
Loveable characters:
Complicated
Diverse cast of characters:
No
Flaws of characters a main focus:
Yes