Reviews

Tokyo by Nicholas Hogg

snoakes7001's review against another edition

Go to review page

5.0

Absolutely fascinating. Great characters - including Tokyo itself, which if, like me you are fairly unfamiliar with, becomes a character in its own right.
I thought I could see where it was going, but I was completely wrong. Far more interesting than any of my second guesses, I never saw that ending coming.

kirajira's review against another edition

Go to review page

2.0

sort of like murakami except written by a white guy

thesundaywriter's review against another edition

Go to review page

3.0

A random find that was surprisingly absorbing.

alicemelvin's review against another edition

Go to review page

slow-paced
  • Plot- or character-driven? Plot
  • Strong character development? No
  • Loveable characters? No
  • Diverse cast of characters? No

2.0

Such a mediocre novel. It was okay but I found the characters to be 2D and the plot's pacing was bizarre.

heatherreadsbooks's review

Go to review page

4.0

Social psychologist Ben Monroe has returned to Tokyo after a failed marriage, determined to seek out his former lover Kozue. His estranged teenage daughter Mazzy reluctantly flies from California to join him. On the flight she meets a young Japanese man, Koji, a cult survivor, who tells her the story of the luminous night princess Kaguya, a powerful tale of beauty and obsession. As Ben delves deeper into the underworld in search of Kozue, Mazzy and Koji are compelled to follow, and their four lives dangerously intersect as past and present collide.

The thing about Tokyo is at the start, it plants the seeds of curiosity - the plane journey in which Koji tells folk tales to Mazzy is one that raises questions on where their dynamic will go, or if it's a fleeting encounter of significance. Then there's the father/daughter relationship that develops from their arrival, the teen thrust into new surroundings despite her protests. It pulls you in, and then the story unfurls very slowly.

There are moments of further intrigue along the way with Kozue, and the general meaning of it all, where their journeys all cross, but it did feel a little while in coming to fruition. Having said that, when those climaxing twists appear, they follow in quick succession through to the end.

It's at times a bit dark and twisted, passing on the apparent paranoia of the city onto the reader in viewing some characters, but at other times really charming in terms of the relationships. Very unlike anything I've read; leaves you uncertain and wondering for a lot of it, but shifts pace towards the end to complete the story. Very interesting.

hzboy's review

Go to review page

4.0

Shira sayang,
Haruskah kita menyerah sekarang? Hanya tinggal selangkah dan kita bisa mengakhiri ini semua. Tapi haruskah kita menyerah sekarang? Harus?


Universe conspires in such an unique way. Aku percaya itu. Seperti bagaimana Tokyo dan Perayaan Kesedihan ini tiba-tiba muncul di pangkuanku. Semesta suka main-main. Sekalinya bermain-main dengan takdir seseorang, ternyata membawanya menuju sesuatu yang tidak pernah diperhitungkan.

Begitu pula dengan Joshua. Siapa sangka bertemu dengan gadis yang berusaha membuang setumpuk Tolak Angin membuat perjalanannya ke Tokyo menjadi "baru." Tokyo bukanlah kota asing bagi Joshua, tetapi bagaimana Shira muncul selama hari-harinya di kota itu mengubah dirinya. Petualangan Joshua dan Shira memang layak disebut sebagai bentuk atas perayaan terhadap kesedihan.

Ada dua bagian dalam novel ini: bagian dari sudut pandang Shira dan dari sudut pandang Joshua. Masing-masing menceritakan sesuai lini masanya, sesuai emosi yang mereka rasakan ketika itu. Meskipun mereka berdua "sedih" dengan keadaan mereka masing-masing, tetapi keduanya merasa kecewa karena hal yang sama. Dan itu yang menurutku, mempertemukan mereka berdua.

"Bisa nggak sih nggak dibalikin semua gitu omongan gue? Terus lo bisa nggak, nggak pakai saya-saya? Emangnya lo Rangga?" Gue akhirnya ngomel juga.
"Tapi kamu nggak cocok jadi Cinta."
"YA AMPUN..."


Berlatar belakang Tokyo--kota yang sejak dulu ingin aku kunjungi--pembaca juga diajak berkeliling. Dari kuil ke taman ke stasiun ke kafe. Menguntit bagaimana Joshua dan Shira menghabiskan waktu sembari saling melemparkan candaan dan deep talk mengenai kehidupan.

Sepanjang membaca Toko dan Perayaan Kesedihan, aku merasa memahami apa yang dihadapi oleh para tokoh. Terutama Joshua dan kisah sedihnya sebelum akhirnya dia berada di Tokyo. Maka dari itu, ku katakan kalau semesta memang hobi bercanda pada takdir seseorang. Aku seakan ikut merayakan kesedihan bersama mereka. Bahwa tidak ada yang salah dengan menjadi sedih dan berduka atas sesuatu yang pernah berada bersama kita. Dan sekiranya, itu yang ingin disampaikan oleh penulis melalui novel ini.

Tokyo dan Perayaan Kesedihan membuatku merindukan perjalanan mandiri (solo traveling) yang pernah aku lakukan selama hampir dua minggu ke Vietnam. Sendirian ke negara orang dan sengaja tidak membuat banyak perencanaan membawaku ke dalam fase "memahami diri sendiri" (meskipun hingga kini, aku masih dalam proses untuk itu). Faktor satu lagi yang membuatku memiliki kedekatan pengalaman dengan tokohnya.

Sampai hari ini saya tidak pernah sadar bahwa penyudahan hidup bisa semudah memasuki hutan bernama Aokigahara. Sampai hari ini saya tidak pernah sadar bahwa hidup bisa sebegitu sulit untuk diperjuangkan.


Aku sungguh menikmati cerita Joshua dan Shira. Tentang bagaimana mereka mencoba untuk menyembuhkan diri sendiri dari rasa sedih sekaligus ingin mengabadikan rasa sedih itu. Tidak heran jika aku bisa menyelesaikannya hanya dalam sekali duduk. Ditambah, aku merasa haru di beberapa bagian hingga menitikkan air mata. Tokyo dan Perayaan Kesedihan ini bisa jadi sebuah selingan bacaan yang ringan di kala masa-masa pandemi seperti ini. Dengan desain sampul yang cantik, versi fisiknya layak untuk dikoleksi.

Ohya, aku tidak bisa memberikan 5 bintang karena aku beberapa kali menemui salah ketik dan ketidakkonsitenan terhadap bentuk panggilan dan kata sapa. Dan mengingat bahwa latar belakang Jepangnya yang ditonjolkan, beberapa istilah seperti Obasaan, Ema, Miko dan istilah-istilah lainnya tidak diberi catatan kaki. Untuk pembaca yang awam, mungkin hal seperti ini mengganggu. Tetapi sisanya, bisa dinikmati.
More...